Hukum dan Peraturan Taurat

Unordered List

Thursday 18 February 2016

B. PENULIS & KESATUAN Berabad-abad lamanya orang Yahudi maupun Kristen tanpa ragu-ragu menerima tradisi bahwa Musa adalah penulis Pentateukh. Ben-Sira (Ekklus 24:23), Filo (Life of Moses, 3.39), Yosefus (Ant. 4.326), Misynah (Pirge Aboth 1.1) dan Talmud (Baba Bathra 14b) sepakat menerima Musa sebagai penulisnya. Satu-satunya perdebatan ialah mengenai berita tentang kematian Musa dalam Ul 34:5 dab. Filo dan Yosefus menerima bahwa Musa sendirilah yg memberi keterangan tentang kematiannya, sedang Talmud percaya, bahwa Yosua menulis delapan ayat dari kitab Taurat, barangkali delapan ayat terakhir. a. Kritik terhadap Pentateukh sebelum thn 1700 M Tradisi dalam 2 Esdras 14:21-22, yg mengatakan bahwa gulungan Pentateukh yg terbakar waktu Nebukadnezar mengepung Yerusalem, ditulis ulang oleh Ezra, rupanya diterima oleh Bapak-bapak gereja, ump Irenaeus, Tertulian, Klemen dari Aleksandria dan Yerome. Tapi mereka tidak menyangkal bahwa Musa-lah penulis kitab asli hukum Taurat. Penyangkalan pertama bahwa Musa penulis hukum Taurat terdapat dalam pernyataan Yohanes dari Damsyik tentang orang-orang Nasrani, yaitu suatu sekte Kristen Yahudi (bnd J. P Migne, PG 94. 688-689). Clementine Homilies mengajarkan, bahwa sisipan ditambahkan pada Pentateukh oleh setan-setan untuk memberi gambaran buruk tentang Adam, Nub dan Bapak-bapak leluhur. Setiap bagian yg tidak selaras dengan pra-dalil penulis Ebionit itu, diragukan dalam usaha pertama ini menjalankan 'kritik tingkat tinggi'. Antara gejolak kendala yg merongrong iman yg dicoba ditiadakan uskup Antiokhia, Anastasius dari Sinai (abad 7 M), terdapat perihal apakah Musa penulis Kej dan pertentangan yg menurut sementara orang terdapat di dalamnya (bnd J. P Migne, PG 89. 284-285). Selama abad pertengahan Eropa ahli-ahli Yahudi dan Islam mulai mengemukakan pertentangan dan anakronisme dalam Pentateukh. Ump Ibn Ezra (d. 1167), yg mengikuti saran Rabi Isaac ben Jasos (d. 1057) yg mengatakan bahwa Kej 36 tidak mungkin ditulis sebelum pemerintahan Yosafat karena Hadad disinggung di sana (bnd Kej 36:35; 1 Raj 11:14), mempertahankan bahwa bagian-bagian seperti Kejadian 12:6; 22:14; Ulangan 1:1; 3:11 adalah sisipan. Ada tokoh gereja yang kemudian: A. B Carlstadt (1480-1541), karena melihat tidak ada perubahan gaya bahasa Kitab Ulangan sebelum dan sesudah Musa mati, menyangkal bahwa Musa menulis Pentateukh. Seorang pakar Belgia bernama Andreas Masius, menulis buku tafsiran Kitab Yosua (1574), dan berkata bahwa Ezra membubuhkan beberapa sisipan ke dalam Pentateukh. Pendirian itu dipegang juga oleh dua pakar Yesuit, Jacques Bonfrere dan Benedict Pereira. Dua orang filsuf termasyhur membantu merintis jalan untuk kritik modern tingkat tinggi (higher criticism) dengan memasukkan ke dalam tulisan mereka yg tersebar luas, beberapa kecaman mengenai kesatuan hukum Taurat. Thomas Hobbes (Leviathan, 1651) percaya, bahwa Musa menulis segala sesuatu dalam Pentateukh yg terkait dengan namanya. Tapi bagian Pentateukh lainnya ditulis mengenai Musa oleh penulis lain. Benedict Spinoza (Tractatus Theologico-politicus, 1670) memperluas lagi pengamatan Ibn Ezra. Dengan mencatat cerita kembar dan apa yg dianggapnya pertentangan, ia menyimpulkan bahwa Ezra sendiri menulis Kitab Ulangan, dan merampai Pentateukh dari berbagai dokumen (ada yg berasal dari tangan Musa). Puncak kritik Pentateukh abad 17 terdapat dalam karya Richard Simon dan pengikutnya LeClerc dalam thn 1685. LeClerc menentang pandangan Simon, bahwa Pentateukh merupakan bunga rampai yg didasarkan banyak dokumen, baik yg bersifat ilahi maupun bersifat manusia, dengan pendapatnya bahwa penulis Pentateukh hidup di Babel antara thn 722 sM dan zaman Ezra. b. Kritik terhadap Pentateukh dari thn 1700-1900 M (i) Masalah kepenulisan Musa. Walaupun banyak persoalan dikemukakan oleh ahli-ahli Katolik, Protestan dan Yahudi pada masa disebut di atas, namun golongan terbesar ahli dan kaum awam tetap menerima kepenulisan Musa. Suatu titik penting dalam kritik Pentateukh tercapai thn 1753. Seorang dokter Perancis, Jean Astruc, menerbitkan teorinya bahwa Kitab Kej disusun oleh Musa atas dasar dua riwayat hidup kuno (memoires) yg utama, dan berbagai dokumen yg lebih pendek. Kunci untuk menjabarkan kedua riwayat hidup (memoires) ini ialah nama Allah: yg satu memakai nama Elohim dan yg satu lagi nama Yahweh. Astruc tetap mempertahankan bahwa Musa menulis Kitab Kejadian, tapi mengemukakan teorinya tentang banyak sumber guna menerangkan beberapa pengulangan dan apa yg dianggap pertentangan, yg telah dicatat para pengkritik. Pandangan Astruc diperluas oleh J. G Eichhorn (Einleitung, 1780-1783) dan menjadi apa yg disebut 'teori sumber-sumber terdahulu'. Dengan melepaskan kepenulisan Musa ia berpendapat, ada redaktur final yg tidak dikenal yg mengatur sumber-sumber Elohis dan Yahwis dari Kitab Kej dan Kel 1 dan 2. Teori naskah sumber ini tambah diperluas lagi oleh K. D Ilgen (Die Urkunden des Jerusalemischen Tempelarchivs in ihrer Urgestalt, 1798), yg menjumpai dalam Kej ps 17 sumber-sumber yg terpisah, yg dapat ditelusuri pada tiga penulis, dua yg memakai nama Elohim, dan satu yg memakai nama Yahweh. Pekerjaan Astruc dilanjutkan (lk 1792-1800) oleh seorang Skotlandia bernama Alexander Geddes, imam RK, yg mengembangkan teori serpihan (teori fragmentis) bahwa Pentateukh disusun redaktur dari berbagai serpihan yg berasal dari dua lingkungan, satu lingkungan Elohis, yg lain lingkungan Yahwis. Teori fragmen ini dipegang dan diperluas oleh dua ahli Jerman, J. S Vater (Commentar uber den Pentateuch, 3 jilid, 1802-1805), yg berusaha menjejaki perkembangan Pentateukh dari lebih 30 serpihan; dan W. M. L De Wette (Beitrage zur Einleitung in das Alte Testament, 1807), yg menekankan bahwa banyak dari bahan legal berasal sesudah zaman Musa dan menjabarkan kitab Taurat yg ditemukan Yosia dengan Kitab Ulangan (dlm hal ini, yg sangat mempengaruhi riset kemudian hari, ia didahului oleh Yerome, 1.400 thn lebih dulu). Pandangan De Wette tentang satu sumber dasar, yg ditambah dengan berpuluh-puluh serpihan, dikembangkan oleh H Ewald (thn 1831) yg menyarankan, sumber utama bersifat Elohis. Sumber ini menyajikan cerita penciptaan sampai dengan Yos, dan ditambah oleh berita Yahwis, yg juga menjadi redaktur final. Walaupun kemudian Ewald mengundurkan 'teori penambahan' (teori suplemen) ini, namun teori itu tetap hidup dalam tulisan F Bleek (de libri G. eneseos origine, 1836) dan F Tuch (Genesis, 1838). Tokoh 'teori naskah sumber' yg berikut H Hupfeld (Die Quellen der Genesis and die Art ihrer Zusammensetzung, 1853), seperti Ilgen menemukan tiga sumber terpisah-pisah dalam Kitab Kej, yaitu Elohis pertama (E1), Elohis yg kemudian (E2), dan Yahwis (J). Setahun kemudian, setelah E Riehm menerbitkan bukunya Die Gesetzgebung Mosis im Lande Moab (1854) yg berusaha membuktikan sifat tersendiri dari Kitab Ul, maka keempat naskah sumber utama sudah disendirikan dan diberi urutan tanggal E1, E2, J, D (di Indonesia dipakai huruf E1, E2, Y, U). Pandangan E. G Reuss, J. F. L George dan W Vatke dikembangkan oleh K. H Graf (1866). Graf menekankan bahwa Et (yg disebut P untuk Peraturan imam-imam [Indonesia I] oleh ahli-ahli modern) bukan sumber tertua tapi sumber yg terakhir. Lalu perdebatan berkisar pada soal urutan peninggalan yg benar, E2 (E) JDP (E1) atau JEDP [Indonesia, E2 (E) YUI (E1) atau YEUI]. A Kuenen dalam The Religion of Israel (1869-1870) mempertahankan pendapat terakhir, dan dengan demikian mempersiapkan panggung untuk penampilan pemain bintang drama kritik Pentateukh, yaitu Julius Wellhausen. (ii) Pandangan Wellhausen. Uraian yg paling meyakinkan dan populer tentang teori naskah sumber ialah terbitan Wellhausen antara thn 1876-1884. Secara sederhana, teori ini mengatakan bahwa J (Y) (kr 850 sM) dan E (kr 750 sM) digabungkan oleh seorang redaktur (RYE) kr 650 sM. Waktu D (U) (hukum-hukum Ulangan, kr 621) ditambahkan oleh RD (kr 550) dan P (I) (kr 500-450) oleh RP kr 400 sM, maka pada dasarnya Pentateukh sudah lengkap. Uraian Wellhausen lebih daripada sekedar analisis naskah sumber. Ia menggabungkan penelitiannya dengan cara pendekatan evolusi terhadap sejarah Israel. Hal ini mengurangi sifat kesejarahan zaman Bapak-bapak leluhur sampai yg sekecil-kecilnya dan cenderung mengurangi keagungan Musa. Menurut dia, agama Israel bergerak maju dari korban-korban sembelihan yg biasa di atas mezbah keluarga pada zaman awal pendudukan tanah Kanaan, sampai pada peraturan dalam Imamat (P[I]) yg rumit dan legalis, yg bermula pada zaman Ezra. Dan seperti itulah berkembang lambat laun pikiran Israel tentang Allah, dari animisme dan politeisme pada zaman Bapak-bapak leluhur, melalui henoteisme (kepercayaan kepada satu Allah) zaman Musa dan monoteisme etis nabi-nabi abad 8, sampai pada kepercayaan akan Tuhan yg berdaulat dan dimuliakan seperti diberitakan Yes 40. Begitu asasinya pikiran Wellhausen bagi penalaran PL di kemudian hari, sehingga pengaruhnya dalam penelitian PL berulang-ulang disamakan dengan pengaruh Darwin dalam sains. Terutama melalui tulisan W Robertson Smith dan S. R Driver, uraian naskah sumber Pentateukh menurut aliran Wellhausen memasuki dunia bh Inggris. Di bawah ini dipaparkan (dengan sederhana) pandangan Wellhasuen. Cerita Yahwis J(Y) dikatakan berasal dari permulaan zaman kerajaan Israel (kr 950-850 sM). Singgungan-singgungan mengenai perluasan daerah (Kej 15:18; 27:40) dan kedudukan istimewa Yehuda (Kej 49:8-12) digambarkan menunjuk kepada zaman kerajaan Salomo. Sumber J(Y) menceritakan perilaku Allah terhadap manusia sejak penciptaan alam semesta sampai masuknya Israel di tanah Kanaan. Penggabungan kemegahan dengan kesederhanaan yg terdapat dalam J(Y), menandakan sumber ini sebagai contoh yg menonjol tentang sastra kepahlawanan, yg tepat dibandingkan dengan kitab Iliad dari Homerus. Sumber Yahwis yg berasal dari Yehuda mempunyai beberapa sifat sastra yg membedakannya dari yg lain, bukan hanya dalam hal mengutamakan nama Yahweh, yaitu: syifkha, 'budak perempuan', yg lebih disukai daripada 'ama (E); Sinai dipakai untuk mengganti Horeb (E); dan etimologi rakyat sering muncul, ump Kej 3:20; 11:9; 25:30; 32:27. Karena sangat keras bersifat nasional cerita J(Y) mencatat sampai ihwal kecil perbuatan-perbuatan keluarga Bapak-bapak leluhur, bahkan sampai kepada hal-hal yg tak layak dicatat. Secara teologi J(Y) menonjol karena memakai antropopatisme dan antropomorfisme (antropopatisme = Allah merasa secara manusia; antropomorfisme = Allah mempunyai tubuh seperti manusia). Allah dalam bentuk seakan-akan manusia berjalan dan berbicara dengan orang seorang, walau tak pernah diragukan bahwa sifat-Nya sebetulnya adalah transenden. Riwayat-riwayat hidup dari Bapak-bapak leluhur yg diceritakan secara lincah dan sederhana, mencirikan J(Y) secara mencolok. Cerita Elohis (E) biasanya dianggap berasal dari kr satu abad kemudian dari J(Y), yakni kr 850-750 sM. Ada yg berpendapat bahwa E berasal dari utara (Efraim) dengan alasan alpanya cerita-cerita tentang Abraham dan Lot yg berpusat di Hebron dan daerah Laut Mati dan penekanan khusus yg diberikan kepada Betel dan Sikhem (Kej 28:17; 31:13; 33:19-20). Peranan yg sangat penting dimainkan oleh Yusuf, nenek moyang suku Efraim dan Manasye, suku-suku wilayah utara. Walau lebih bersifat serpihan-serpihan dari J(Y), namun dalam E terdapat gaya bahasa yg khas, seperti: 'Sungai' yg dalam pengertian E maksudnya ialah S Efrat; pengulangan kata dipakai dalam kalimat langsung (bnd Kej 22:11; Kel 3:4); hinneni ('Ya, Tuhan!') dipakai jika menjawab Allah. Walaupun dari segi susunan sastra memang E kurang menonjol dibandingkan J(Y), tapi E terkenal karena penekanan yg diberikannya kepada moral dan agama. Dengan kesadaran akan dosa-dosa Bapak-bapak leluhur, E mencoba membuat hal itu dapat diterima akal, dan bentuk-bentuk antropomorfisme J(Y) diganti dengan pernyataan-pernyataan Allah melalui mimpi dan pengantaraan malaikat. Salah satu cerita E yg sangat menonjol, ialah tentang Allah mencobai Abraham pada peristiwa Abraham diperintahkan untuk mengorbankan Ishak (Kej 22:1-14). Di sini dilukiskan dengan sederhana tapi sangat menggugah hati, ketegangan antara kasih terhadap keluarga dengan ketaatan kepada Allah. Dan dengan kuasa roh kenabian disajikan pelajaran tentang sifat batiniah dari pengorbanan yg sungguh. Sumber Ulangan D(U), dalam penelitian Pentateukh secara kasar sesuai dengan Kitab Ul. Yg termasuk intisari teori naskah sumber ialah pandangan bahwa kitab Taurat yg ditemukan raja Yosia (2 Raj 22:3-23:25) merupakan, paling sedikit, bagian Kitab Ul. Hal-hal yg selaras pada D(U) dan pembaharuan Yosia yg layak diperhatikan ialah: ibadah Israel berpusat di Yerusalem (2 Raj 23:4 dab; Ul 12:1-7); kegiatan-kegiatan ibadah palsu dilarang secara khusus (2 Raj 23:4-11, 24; Ul 16:21-22; 17:3; 18:10-11). D(U) memberi penekanan kuat pada kasih Allah terhadap Israel dan pada tanggung jawab moral Israel untuk menanggapinya, pada suatu filsafat sejarah yg menerangkan syarat-syarat berkat atau hukuman Allah, dan pada perlunya rasa keadilan sosial yg kokoh dalam kerangka perjanjian dengan Allah. D(U) lebih merupakan kumpulan khotbah daripada kumpulan cerita, suatu tumpukan bahan yg bersifat hukum, teguran dan nasihat, yg dirampai selama kebutuhan yg mendesak pada pemerintahan Manasye dan yg digabungkan dengan YE sesudah zaman Yosia. Dalam sumber Imamat P(I) terkumpul hukum-hukum dan kebiasaan-kebiasaan dari berbagai kurun sejarah Israel, disusun sedemikian rupa seperti mengorganisir struktur hukumiah dari Yudaisme sesudah zaman pembuangan. Memang terdapat beberapa cerita dalam P(I), tapi itu lebih mengutamakan silsilah dan asal mula praktik upacara-upacara dan praktik hukum pada zaman Bapak-bapak leluhur. Bagian-bagian formal seperti kesepuluh 'keturunan' dalam Kitab Kej dan perjanjian dengan Adam, Nuh, Abraham dan Musa umumnya dianggap berasal dari P(I). Kerumitan struktur hukum dan upacara P(I) biasanya ditafsirkan sebagai tanda sesudah pembuangan, terutama waktu P(I) (ump Kel 25-31; 35-40; Im; hukum-hukum dlm Bil) dibandingkan dengan rumpun upacara sederhana pada Hak dan 1 Sam. Sebagai dokumen sastra P(I) tak dapat dibandingkan dengan naskah sumber yg terdahulu, karena lebih mengutamakan rincian-rincian yg menyulitkan (ump silsilah dan keterangan-keterangan yg begitu rinci ttg Kemah Suci) sehingga cenderung mematahkan semangat kreatif sastra. Kegairahan gerakan keimaman akan kekudusan dan sifat transenden Allah jelas terdapat dalam P(I); di situ kultus keagamaan sebagai keseluruhan, dianggap suatu alat dari kasih karunia Allah, yg menjembatani jurang yg memisahkan diriNya dari Israel. c. Kritik Pentateukh sesudah thn 1900 M Analisis naskah sumber tidak berhenti pada penelitian-penelitian Wellhausen. Rudolf Smend, yg memperluas ide Karl Budde dalam thn 883, berusaha membagi sumber Yahwis menjadi J1 dan J2 (Y2, dan Y2) dalam seluruh Heksateukh (Die Erzahlung des Hexateuch auf, ihre Quellen untersucht, 1912). Apa yg disebut Smend J1 (Y1), disebut Otto Eissfeldt sebagai Sumber-Awam L(SA), sebab bertentangan langsung dengan sumber Imamat dan memberi penekanan pada cita-cita hidup pengembaraan, yg bertentangan dengan cara hidup bangsa Kanaan. Sumber Keni (SK), buah pena Julian Morgenstern, membicarakan riwayat hidup Musa dan hubungan bangsa Israel dengan bangsa Keni (1 Samuel 27:10; Yos 15:56; S[Selatan Seir]) dari R. H Pfeiffer tentang Kej yg sedikit banyak selaras dengan L menurut Eissfeldt (ZAW, 48, 1930, hlm 66-73), juga dengan bagian IA dan IB dari sumber Imamat menurut Gerhard von Rad (Die Priesterschrift im Hexateuch, 1934); semuanya itu merupakan penyerpihan yg dilakukan oleh ahli-ahli kritik naskah sumber, yg telah mencapai puncaknya dalam analisa P(I) menjadi bagian-bagian kecil dalam karya B Baentsch tentang Kitab Im (1900), dan di situ 'ditemui' tujuh sumber dengan dijumpainya seorang redaktur atau lebih. Kecenderungan untuk memisah-misahkan sampai sekecil-kecilnya juga kelihatan dalam kerja C. A Simpson (terutama The Early Traditions ofIsrael: a Critical Analysis of the Pre-Deuteronomic Narrative of the Hexateuch, 1948). d. Reaksi terhadap teori Graf-Wellhausen Golongan konservatif yg sadar bahwa ajaran pengilhaman Alkitab dan seluruh teologi dibangun di atasnya, diancam oleh kritik naskah sumber, segera bangkit menentang analisis kritik naskah sumber itu. Tokoh konservatif antara lain adalah E. W Hengstenberg (Dissertations on the Genuineness of the Pentateuch, 1847) dan C. F Keil. Sesudah sintese Wellhausen yg berpengaruh itu muncul, perlawanan dilanjutkan oleh W. H Green (The Higher Criticism of the Pentateuch, 1895) dan James Orr (The Problem of the OT, 1906); penelitian cermat mengenai teori naskah sumber menemukan bahwa teori itu alpa dalam dua hal, yaitu bukti kesusastraan dan pra-dalil teologis. Pola yg dikemukakan oleh ahli-ahli ini dilanjutkan dalam penelitian R. D Wilson (A Scientific Investigation of the Old Testament, 1926, cetak ulang 1959), G. Ch Aalders (A Short Introduction to the Pentateuch, 1949), 03 Allis (The Five Books of Moses, 1943) dan E. J Young (Introduction to the Old Testament, 1949). Serangan kaum konservatif terhadap teori Wellhausen mengikuti garis-garis sebagai berikut: (i) Pemakaian nama-nama Allah. Pemakaian nama-nama Allah sebagai patokan untuk memisah-misah naskah sumber dipertanyakan atas empat alasan pokok: (1) Sesudah naskah-naskah diperiksa maka terbukti, terutama dari Pentateukh LXX, bahwa ada lebih sedikit keseragaman dan ada lebih banyak keberagaman dalam naskah-naskah terdahulu Sari Pentateukh ketimbang dalam Naskah Masoret (NM), yg justru dipakai sebagai dasar untuk teori naskah sumber (walaupun kitab J Skinner The Divine Names in Genesis, 1914, telah mengurangi kekuatan dalil ini). Penelitian R. D Wilson mengenai nama-nama Allah dalam Alquran (PTR 17, 1919, hlm 644-650) menunjukkan bahwa beberapa sura mengutamakan istilah Allah (4; 9; 24; 33; 48; dst), tepat seperti bagian tertentu Kejadian mengutamakan Elohim (ump Kejadian 1:1-2:3; 6:9-22; 17:2 dab, 20, dst) dan bagian lainnya memakai Yahweh (ump Kejadian 4; 7:1-5; 11:1-9; 15; 18:1-19:28 dst). Karena jelas bahwa Alquran tidak boleh dibagi menjadi serpihan atas dasar penggunaan nama bagi Allah, maka sama halnya dengan Kejadian. (2) Pemakaian nama Tuhan Allah (Yahweh Elohim) Kejadian 2:4-3:24; bnd Keluaran 9:30) menimbulkan masalah khusus bagi teori Wellhausen, karena bentuk ini menggabungkan nama-nama, yg justru dianggap menjadi kunci untuk memisahkan naskah sumber; LXX kelihatannya mengandung lebih banyak contoh penggabungan ini (ump Kejadian 4:6, 9; 5:29; 6:3, 5). Untuk nama gabungan bagi para ilah terdapat banyak bukti dalam sastra Ugarit, Mesir dan Yunani (bnd C. H Gordon dlm Christianity Today, 23 Nov. 1959). (3) Agaknya penggantian nama Yahweh dan Elohim dalam Pentateukh merupakan usaha penulis untuk menekankan pikiran yg terkait dengan tiap-tiap nama itu (bnd I Engnell, Gamla Testamentet, 1, 1945, hlm 194 dst). Masalah ini dan masalah serupa berkaitan dengan nama-nama Allah, sudah lama memaksa ahli kritik meremehkan pentingnya soal, yg dulu adalah titik tolak seluruh proses kritiknya. (ii) Gaya ungkapan dan gaya bahasa. Perbedaan gaya ungkapan dan gaya bahasa, yakni unsur-unsur penting yg mendukung teori Wellhausen, sangat diragukan oleh beberapa ahli konservatif. Mereka mengatakan bahwa cerita-cerita Pentateukh terlalu fragmentaris untuk memberikan pengetahuan yg wajar perihal perbendaharaan kata seorang penulis; kadang-kadang teori Wellhausen tidak menyadari bahwa jenis sastra yg berbeda-beda menuntut kosa kata yg berbeda-beda. Kata-kata yg begitu khas menonjol pada suatu naskah (dokumen) bila juga ditemukan pada naskah lain, maka dikatakan redaktur kedua naskah itu adalah satu orang. Kebiasaan menganggap 'seorang redaktur' terlalu sering digunakan oleh para ahli teori kritik mengatasi kelemahan dan kesukaran mereka, bila kenyataan-kenyataan menimbulkan beberapa pertanyaan atas ketepatan dan kebenaran teori kritik itu. Mengenai soal gaya bahasa, ahli-ahli baik konservatif dan ahli-ahli lainnya sudah berulang-ulang menunjukkan kesubyektifan pertimbangan-pertimbangan teori kritik, dan amat sukar untuk menilai pendapat-pendapat seperti itu secara ilmiah. Jadi apa yg bagi seorang kritik nampak sebagai suatu cerita yg hidup dan menggetarkan hati, bisa nampak tumpul atau hampa bagi orang lain. Beberapa kesukaran yg dihadapi oleh kritik sastra telah disoroti oleh W. J Martin dalam karyanya Stylistic Criteria and the Analysis of the Pentateuch, 1955, walaupun kita harus hati-hati dalam memakai persamaan-persamaan antara kritik sastra Barat untuk meneliti sastra Timur. (iii) Cerita-cerita kembar. Adanya cerita-cerita kembar (yg kadang-kadang disebut dublet) telah dianggap sebagai bukti utama mengenai adanya sumber yg bermacam-macam. Aalders (hlm 43-53) dan Allis (hlm 94-110, 118-123) telah menyelidiki beberapa ulangan ini (ump Kejadian 1:1-2:4a; 2:4b-25; 6:1-8, 9-13; 12:10-20; 20; 26:6-11) dan menandaskan bahwa adanya cerita ulangan tidak perlu ditafsirkan sebagai bukti jamaknya sumber-sumber. Sebaliknya, pengulangan dalam prosa Ibrani bisa saja dihubungkan dengan sifat khas bh Ibrani (dan memang demikian semua bh Semit), yaitu memakai ulangan guna menekankan sesuatu. Gagasan dalam sastra Ibrani ditekankan bukan pada hubungannya yg logis dengan gagasan-gagasan lain, tapi dengan pengulangan supaya merangsang pikiran dan minat pembaca. (Bnd J Muilenburg, 'A Study in Hebrew Rhetoric: Repetition and Style', VT Supp 1, 1953, hlm 97-111; J Pederson, Israel, 1-2; 1926, hlm 123). Penggunaan nas-nas dari Pentateukh dalam liturgi dapat juga dianggap satu sebab pengulangan. Mengenai Kitab Kejadian, ada sumbangan dari P. J Wiseman dalam karyanya New Discoveries in Babylonia about Genesis, 1936; edisi baru, Clues to Creation in Genesis, 1977. Menurut dia, bagian-bagian toledot (yaitu bg yg mulai atau berakhir dgn ungkapan 'Demikianlah riwayat...', mis Kej 2:4a) menandakan berbagai sumber yg tersedia bagi Musa untuk merampai cerita-cerita yg sudah ada. Cara pendekatan ini dipopulerkan oleh J Stafford Wright dalam karyanya How Moses Compiled Genesis: A Suggestion, 1946. Tentang jawaban terhadap teori Wellhausen mengenai perkembangan susunan imamat orang-orang Lewi. Aliran konservatif selalu serta merta menggunakan kesimpulan-kesimpulan ahli-ahli lain, bila kesimpulan-kesimpulan itu cenderung meragukan teori naskah sumber. Serangan B. D Eerdmans melawan teori-teori pengikut Wellhausen adalah salah satu contoh tentang itu. Walaupun Eerdmans menyangkal Musa sebagai penulis Pentateukh, namun dengan kokoh ia membela keaslian cerita-cerita tentang Bapak-bapak leluhur, dan ia mengungkapkan keyakinannya akan kedinian dari tata cara keagamaan dalam P(I). T Oestreicher dan A. C Welch berusaha mematahkan teori naskah sumber dengan membongkar batu pijaknya, yaitu bahwa D(U) sama dengan kitab Taurat yg ditemukan pada pemerintahan Yosia. E Robertson (The OT Problem, 1950) memandang Kitab Ul dirampai karena pengaruh Samuel, sebagai kitab undang-undang bagi 'seluruh Israel'; kitab ini tidak digunakan tatkala perpecahan bangsa itu membuat penerapannya tidak mungkin, tapi ditemukan kembali pada pemerintahan raja Yosia, tepat pada waktunya ada kemungkinan lagi untuk menata 'seluruh Israel' sebagai satu kesatuan agamawi. Kesepuluh Hukum dan Kitab Perjanjian yg bersama-sama dengan orang Ibrani memasuki tanah Kanaan, pada awal pemukiman disimpan di beberapa tempat suci setempat. Di situ pula dikumpulkan naskah bermacam-macam kelompok hukum dan tradisi yg berpusat pada kedua kitab di atas, yg walaupun beraneka ragam, tapi tetap terkait dengan kedua kitab itu. Awal pembangunan kembali persatuan nasional pada zaman Samuel menuntut suatu kitab himpunan undang-undang untuk pemerintah pusat atas dasar bahan-bahan tersebut. Beberapa segi tertentu dari teori ini, yg berlandaskan bahan-bahan di atas, diperluas oleh R Brinker dalam karyanya The Influence of Sanctuaries in Early Israel, 1946. Dengan memakai patokan ilmu bahasa dan gaya bahasa, kesatuan Kej dipertahankan oleh U Casutto (La Questione della Genesi, 1934), dan kesatuan sastra dari seluruh Pentateukh dibela oleh F Dornseiff (ZA W 5253, 1934-1935); bnd karyanya Antike and Alter Orient, 1956. Dari sudut lain kita diperingatkan oleh AR Johnson, supaya awas terhadap apa 'yg kelihatan sebagai bahaya yg sungguh-sungguh dalam penelitian PL yaitu: lapisan-lapisan (strata) pikiran yg mungkin berbeda tapi sezaman, disalahtafsirkan sebagai tangga-tangga (stages) pikiran, yg kemudian diatur menurut penanggalan waktu supaya cocok dengan suatu teori tentang evolusi yg terlalu disederhanakan, atau dengan suatu teori pernyataan progresif yg serupa dengan itu' (The Vitality of the Individual in the Thought of Ancient Israel, 1949, hlm 3). (iv) Kritik bentuk. Walaupun tidak melepaskan teori sumber, perintis kritik bentuk, H Gunkel dan H Gressmann, memberi tekanan baik pada kualitas sastranya maupun pada panjangnya proses tradisi lisan (cerita) yg membentuk cerita-cerita yg beraneka ragam itu menjadi karya yg sangat indah. Kritik bentuk disambut baik karena bebas dari pendekatan yg dingin dan bersifat mengurai gaya para kritik naskah sumber, yg menggunting-gunting Pentateukh menjadi serpihan-serpihan sehingga cenderung menyangkal kekuasaan dan keindahan cerita. Upaya kritik bentuk merintis jalan bagi sekelompok ahli Skandinavia mengadakan penelitian dengan membuang pendekatan berdasarkan naskah sumber dan menggantinya dengan menekankan tradisi lisan. Mengikuti petunjuk J Pederson, yg terus-terang menolak teori sumber pada thn 1931 (ZAW 49, 1931, hlm 161-181), I Engnell (Gamla Testamentet, 1, 1945) mengokohkan bahwa Pentateukh sama sekali bukan hasil rampaian dari naskah sumber tertulis, tapi campuran dari tradisi-tradisi lisan yg dapat dipercaya, yg dikumpul dan dibentuk dalam dua kelompok tradisi utama, yaitu: kelompok P(I) yg bertanggung jawab tentang Tetrateukh, dan kelompok D(U) yg merumuskan Ul, Yos, Hak, Sam, dan Raj. Penulisan kitab-kitab itu dikaitkan pada masa pembuangan atau sesudahnya. Unsur-unsur utama dalam perkembangan aliran tradisi dan sejarah ini, ialah pengetahuan yg sudah lebih maju tentang psikologi Ibrani dan pemahaman yg berkembang dan mendalam tentang sastra Asia Barat kuno. Menurut Engnell, para ahli aliran Wellhausen cenderung menafsirkan PL dengan patokan-patokan metode sastra Eropa dan logika barat. Untuk ringkasan pandangan aliran Skandinavia, lih Eduard Nielsen, Oral Tradition, 1954. Pandangan H Gunkel tentang kelompok-kelompok sastra yg beraneka ragam itu (yg dapat ditentukan dgn mengamati bentuk sastra dlm Pentateukh) menunjukkan semacam bentuk kembali ke pendekatan secara fragmentaris yg diikuti oleh Geddes, Vater dan De Wette. Melihat ini, P Volz (dan sampai batas tertentu W Rudolph juga), menghimbau supaya menghidupkan kembali teori suplemen dengan memperkecil makna 'penulis Elohis' sekecil-kecilnya, yg menurut pandangan Volz, di kemudian hari merupakan redaktur utama dari penulis agung Kej, yaitu Yahwis. Demikianlah dengan cara yg kira-kira sama ditekankan pula oleh G von Rad (Das formgeschichtliche Problem des Hexateuchs, 1938) peranan unggul yg dimainkan Yahwis, baik sebagai pengumpul maupun sebagai penulis dari bahan Pentateukh, yg menjelma melalui jangka waktu yg panjang dengan sejarah tradisi yg kaya di belakangnya. Tanggal-tanggal dari sumber-sumber itu yg umum diterima, masih merupakan dugaan menurut von Rad, dan menggambarkan langkah-langkah terakhir dalam merampai bahan-bahan itu. Penerapan teori-teori von Rad mengenai Pentateukh pada ilmu teologi, dapat dibaca dalam bukunya Old Testament Theology 1, 1962. Teorinya bahwa pengakuan seperti Ulangan 26:5 dst merupakan titik tolak bagi perkembangan Pentateukh, baru-baru ini dibalikkan oleh J. A Soggin (IOT, E. T. 1976, hlm 93) yg berpendapat bahwa pengakuan tersebut bukan titik tolak tapi ringkasan Pentateukh. M Noth (Uberlieferungsgeschichte des Pentateuch, 1948) mendekati beberapa hasil dari aliran Uppsala, yg dipimpin Engnell dll, tidak melepaskan pendekatan atas dasar naskah sumber. Ia sangat memperhatikan sejarah tradisi lisan yg ada di belakang sumber-sumber itu, tapi tetap dipertahankannya pendekatan kepada J(Y), E, dan P(I) yg sudah amat lazim. Penyimpangannya dari tradisi Wellhausen yg paling terang dapat dilihat dalam penolakannya untuk mengakui adanya 'Heksateukh' dan dalam menyingkirkan kebanyakan isi Ul dari cengkeraman kritik Pentateukh. Seperti kelihatan dalam buku-buku Pengantar ke dalam PL modern, ahli-ahli masa kini lebih memperhatikan bentuk-bentuk bahan cerita, liturgi, perjanjian atau hukum ketimbang sumber naskah (kalau ada) Pentateukh yg didalilkan teori Wellhausen. Misalnya karya 0 Kaiser, IOT, E. T. 1975, memakai judul judul sbb: Macam Sastra Cerita Israel, Macam Sastra Hukum Israel, Perkembangan Cerita-cerita Pentateukh sebelum ditulis, dsb; lih juga karya J. A Soggin. Hubungan persis antara kritik bentuk dengan kritik naskah sumber masih belum jelas. Tapi ada suatu hal yg jelas, yakni: para ahli seharusnya memperhatikan kritik redaksional (= penelitian makna dari kelima Kitab Pentateukh baik masing-masing atau keseluruhannya), apa saja pendapat mereka tentang proses pengumpulan bahan-bahan kitab-kitab itu. (v) Bukti arkeologi. Perkembangan arkeologi modern memberikan sumbangannya untuk menilai ulang teori naskah sumber. Bahwa cerita-cerita Alkitab pada dasarnya dapat dipercayai berdasarkan sejarah, sudah berulangkali dikokohkan, terutama cerita tentang zaman Bapak-bapak leluhur. (Lih H. H Rowley, 'Recent Discov ry and the Patriarchal Age' dlm The Servant of the Lord 1965.) Rekonstruksi berdasarkan teori evolusi atas sejarah dan agama Israel makin diragukan oleh ahli-ahli arkeologi yg paling menonjol, seperti W. F Albright (ump From the Stone Age to Christianity, 1957, hlm 88 dsb, 282) dan C. H Gordon (ump Ugaritic Literature, 1949, hlm 5-7; 'Higher Critics and Forbidden Fruit', Christianity Today, 23 Nov. 1959). Versi baru yg berbeda sekali dari teori naskah sumber dari titik pendirian agama Israel terdapat dalam penelitian Yehezkel Kaufmann, yg mengokohkan sifat kekunoan P(I) dan bahwa P(I) lebih dulu dari D(U). Tambahan lagi, dipisahkannya Kitab Kej dari sisa Pentateukh, sambil mempertahankan bahwa Kitab Kejadian merupakan 'suatu lapisan tersendiri yg bahan-bahannya pada keseluruhannya sudah sangat tua' (The Religion of Israel, 1960, hlm 208). e. Keadaan sekarang ini Pengertian yg diperoleh dari kecaman teori Graf-Wellhausen bersama penelitian yg berjalan terus oleh pihak pendukungnya, telah menghasilkan perubahan besar dalam teori itu. Pandangan evolusi tentang sejarah dan agama Israel dikesampingkan. Keaslian asasi cerita-cerita Bapak-bapak leluhur diakui oleh banyak ahli setelah sinar arkeologi menerangi dunia cerita itu. Pengaruh atau milieu Mesir dalam lingkaran hidup Yusuf dan cerita Keluaran sudah dibuktikan oleh pertimbangan arkeologi, sastra dan ilmu bahasa (bnd A. S Yahuda, The Language of the Pentateuch in its Relation to Egyptian, 1931; C. H. Gordon, The World of the OT, 1958, hlm 139). Peranan Musa sebagai pemberi hukum dan tokoh agama Israel dikokohkan kembali. Walaupun tidak dibuang, namun teori naskah sumber diubah dan diperbaiki oleh ahli-ahli sekarang ini. Perkembangan setiap sumber sangat rumit dan umumnya sekarang dipandang sebagai hasil kerja satu aliran daripada hasil kerja seorang penulis saja. Pertumbuhan sumber-sumber yg beraneka ragam itu bukanlah susul-menyusul tapi berdampingan, karena dalam tiap sumber didapati unsur-unsur kuno, seperti yg ditunjukkan oleh unsur-unsur Pentateukh yg dipakai oleh nabi-nabi (bnd Aalders, hlm 111-138). Pencincangan ay-ay dan usaha menentukan secara positif termasuk pada naskah sumber mana potongan-potongan itu, pada umumnya tidak dipedomani lagi. Perubahan-perubahan dalam teori naskah sumber ini sebaiknya dipandang sebagai perubahan saja, janganlah sebagai berita kematian. Teori Wellhausen masih tetap hidup kuat dan menjadi tantangan yg terus-menerus bagi ahli-ahli ortodoks, yg kadang-kadang merasa puas hanya dengan bereaksi terhadap teori itu, tanpa menghasilkan pendahuluan (Pengantar) yg jitu bagi Pentateukh. Pengantar positif akan memberikan bukti bagi kesatuan asasi hukum Taurat, sambil mempertimbangkan sungguh-sungguh ciri-ciri keberagaman, yg merupakan dasar bagi teori naskah sumber. Penelitian-penelitian Aalders merupakan terobosan baru yg membuka jalan bagi perkembangan selanjutnya. Sumbangannya yg paling menolong ialah pengamatannya akan adanya dalam Pentateukh unsur-unsur sesudah Musa dan yg bukan dari Musa (ump Kejadian 14:14; 36:31; Keluaran 11:3; 16:35; Bilangan 12:3; 21:14-15; 32:34 dab; Ulangan 2:12; 34:1-12) dan kesadarannya bahwa baik PL dan PB tidak mempertanggungjawabkan muasal seluruh kerja itu kepada Musa, walaupun keduanya menganggap bagian-bagian inti berasal dari Musa. Ump kumpulan undang-undang yg agung khususnya dianggap berasal dari Musa (ump Keluarab 20:2-23:33; 34:11-26; Ulangan 5-26; bnd Ulangan 31:9, 24), sama seperti cerita perjalanan Israel yg disebut dalam Bilangan 33:2. Mengenai cerita-cerita Kej mungkin Musa yg merampainya dari sumber-sumber tulisan atau lisan tapi mungkin juga tidak. Bukti-bukti mengenai penyusunan Pentateukh sesudah zaman Musa terdapat dalam ay-ay di atas, terutama pada sumber-sumber kuno seperti 'Kitab Peperangan TUHAN' (Bil 21:14). Sukar untuk menentukan tanggal penyusunan Pentateukh. Saran Aalders bahwa penyusunan itu terjadi pada pemerintahan raja Saul dan Daud bisa diterima, walaupun di kemudian hari kosakata dan gaya bahasanya mungkin sudah 'dimodernisasikan'.
12:41:00   Posted by Pakdhe aswin with No comments

0 comments:

Post a Comment

Bookmark Us

Delicious Digg Facebook Favorites More Stumbleupon Twitter

Search